Lompat ke konten

Sekda Jepara Diminta Tunjukkan Data Tanah Secara Transparan

Sekda Jepara Diminta Tunjukkan Data Tanah Secara Transparan
Sekda Jepara Diminta Tunjukkan Data Tanah Secara Transparan

JEPARA, Lingkarjateng.id Permasalahan sengketa kepemilikan lahan antara AHS dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara memasuki ranah hukum. Merasa teraniaya dan tidak mendapatkan keadilan, AHS tidak punya pilihan lain, selain menempuh jalur hukum dengan melaporkan Sekda Jepara Edy Sujatmiko ke Polda Jawa Tengah.

Terkait permasalahan tersebut Ketua LSM Kawali Jepara, Tri Hutomo turut menanggapi surat teguran Sekda Jepara Edy Sujatmiko yang ditujukan kepada AHS selaku pemilik lahan. Menurutnya hal itu kurang bijak dan terkesan ada arogansi, serta intimidasi dari Pemkab kepada warganya.

“Seharusnya, Pemkab Jepara mengundang dulu pemilik lahan untuk klarifikasi keabsahan data masing-masing dalam sebuah forum, dengan mengundang pihak terkait seperti BPN, Pemerintah Desa, dan lainnya sebelum melakukan inspeksi lapangan,” sarannya.

Pasalnya, lanjut ia katakan, tidak mungkin warga biasa mempertahankan haknya tanpa dasar yang kuat.

“Apa pun itu pasti ada pembukuannya di desa, apalagi sampai hibah tanpa sepengetahuan desa. Padahal itu ada di Desa Tubanan, jadi pihak Pemdes Tubanan harus diundang. Jadi secara administrasi tidak amburadul,” tambahnya.

Tri Hutomo menambahkan, harus ada klarifikasi terlebih dahulu. Jika memang belum tuntas, maka harus diselesaikan terlebih dahulu. Sehingga tidak terkesan Pemkab Jepara arogansi dengan langsung memberikan teguran dan datang ke lokasi untuk memerintahkan pembongkaran.

“Kalau Pemkab berani mengeluarkan data pada saat itu, saya kira masalah tidak melebar ke mana-mana. Misal terkait anggaran proyeknya, dampak sosialnya, karena itu ‘kan merupakan area strategis,” urainya.

Kemudian terkait Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang disyaratkan Sekda Jepara dalam surat tegurannya, ia menilai secara umum Pemkab harus fair (adil) dalam penerapan PBG terhadap bangunan-bangunan di Jepara. Ia berpendapat, jangan karena ada kepentingan atau tendensi sehingga mempermasalahkan satu bangunan, sementara bangunan lain aman.

“Banyak gudang dan hotel di Jepara yang sampai saat ini juga belum mempunyai izin PBG. Berapa persen yang sudah clear perizinannya? Itu kan tidak fair, walaupun sah-sah saja secara aturan, tapi jangan arogan seperti itu. Karena ada kepentingan, sehingga mencari celah,” tandasnya.

Ia minta Pemkab Jepara juga bersikap adil, membuka data dan informasi seperti yang diinstruksikan oleh Pj Bupati Jepara Edy Supriyanta.

“Apa pun data dan informasi harus dibuka ke publik secara transparan agar permasalahan cepat selesai dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Dengan begitu masalah dapat diurai. Pemkab harus berani gentle dan fair membuka data itu. Kalau memang salah, ya harus mengakui. Sebaliknya ke pemilik lahan pun juga harus sama. Dan itu tidak terjadi pada mediasi pertama, jadi itu (Pemkab, red) tidak gentle. Harus ada alasan kenapa data tersebut tidak dibuka saat pertemuan pertama bersama Pj Bupati, BPN, KPK, BKAD, dan juga Sekda,” kata Ketua LSM Kawali.

POTRET: Ketua Kawali Jepara, Tri Hutomo. (Muslichul Basid/Lingkarjateng.id)

Sementara itu, sebelumnya AHS mengatakan, pihaknya punya rekaman video Pj Bupati Jepara Edy Supriyanta agar buka data, tapi hingga sekarang hal itu tak dilakukan. Sebaliknya, justru pihak Pemkab Jepara melalui Sekda Edy Sudjatmiko malah mengirimkan surat teguran kedua agar AHS membongkar bangunan permanen miliknya.

“Sesuai perintah dan instruksi Pj Bupati waktu itu agar dibuka datanya, tapi malah diabaikan. Saya punya rekaman video Pj Bupati memerintahkan untuk buka data saat itu, tapi sampai sekarang tidak dilaksanakan. Malah ini mengirimkan surat teguran kedua,” terang AHS.

Kasus sengketa lahan antara warga dan Pemkab Jepara ini mencuat setelah AHS, warga Desa Tubanan, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara tak terima jalan miliknya dibangun untuk akses jalan ke PLTU Tanjung Jati B tanpa seizin dirinya selaku pemilik lahan.

AHS merasa memiliki hak atas tanah berdasarkan kepemilikan akta jual beli dan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 454 tahun 1982 Gu tanggal 18/08/1982 nomor 2983/1982 seluas 20.237 meter persegi. Sementara Pemkab Jepara yang diwakili oleh Sekda Edy ngotot kalau tanah tersebut merupakan milik Pemkab Jepara berdasarkan Hak Pakai Nomor 14.

Sebagai bentuk protes, AHS kemudian mendirikan pagar untuk menghentikan aktivitas pembangunan jalan tersebut. Namun aksinya tersebut mendapat teguran dari Sekda Edy Sudjatmiko atas nama Pemkab. Ia pun mendapat surat teguran untuk melakukan pembongkaran secara sukarela paling lambat tanggal 8 September 2022 karena telah mendirikan bangunan permanen di atas Tanah Milik Pemkab Jepara Hak Pakai 14.

Karena tidak terima, AHS kemudian melaporkan kejadian yang menimpa dirinya ke Polda Jateng atas dugaan tindak pidana pemalsuan surat dan/atau membuat surat palsu, serta menempatkan keterangan palsu ke dalam sesuatu akta autentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 KUHP dan atau Pasal 266 KUHP. Saat ini laporannya AHS sudah masuk tahap penyidikan.

Namun, meski sudah dilaporkan, Sekda Edy Sudjatmiko tidak bergeming dan kukuh pada pendiriannya untuk membongkar bangunan yang ada. Pihaknya juga melayangkan surat teguran kedua kepada AHS.

Terkait permasalahan sengketa lahan, Ketua LSM Kawali Jepara Tri Hutomo turut angkat bicara. Ia menyampaikan beberapa pandangannya terkait tujuan pembangunan proyek tersebut yang diklaim Pemkab Jepara sebagai akses Fasilitas Umum (fasum) bagi warga sekitar.

“Kalau memang itu dibangun atas dasar fasum, paling tidak kepentingan masyarakat di sana yakni sektor pertanian dan perikanan (petani dan nelayan, red) terlayani. Namun nyatanya, untuk menurunkan perbekalan dan mengangkut hasil tangkapan masih susah,” ujar Tri.

Ia menerangkan, saat cek lokasi pihaknya melihat jalan tersebut dibangun dengan ketinggian 3 meter tanpa diberikan akses naik turun, sehingga membahayakan dan menyulitkan nelayan setempat. Sama halnya di sektor pertanian yang harus didemo dulu oleh masyarakat, baru kemudian dibangunkan akses. Tetapi, akses jalan untuk nelayan belum ada kemajuan hingga sekarang.

“Jadi indikator untuk fasum belum terpenuhi. Jadi perlu dipertanyakan itu fasum atau fasilitas kepentingan tertentu?” tanyanya heran.

Selain itu, saat ia melakukan cek lokasi terdapat spanduk yang bertuliskan tanah tersebut masih dalam sengketa. Hal ini dikuatkan dengan adanya spanduk dan bangunan yang ada di lokasi tersebut.

“Yang katanya dibangun sebagai akses fasum milik Pemkab Jepara malah menunjukkan bahwa administrasi Pemkab Jepara belum clear, masih terjadi tumpang tindih status kepemilikan lahan,” kritiknya.

Ia juga menilai, status proyek jalan haruslah terbuka.

“Kalau itu memang proyeknya dari Pemkab, harus terbuka. Harus ada papan informasi yang menunjukkan K3, sumber anggaran, panjangnya, volumenya dan berapa kalender yang harus terpampang di situ,” tegasnya. (Lingkar Network | Muslichul Basid – Koran Lingkar)